SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan selalu ada sekelompok orang
(tha’ifah) dari umatku yang tampak (tinggi dan menang) di atas al-Haq.
Tidak akan merugikan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai
datang kepada mereka keputusan Allah dalam kondisi mereka menang.” (hadits mutawatir, diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan para ‘ulama ahli hadits lainnya, dari sekian banyak shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ini adalah berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang eksistensi ath-Thaifah al-Manshurah (Kelompok yang senantiasa menang dan jaya). Al-Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan tentang siapa kelompok tersebut, “Mereka adalah para ‘ulama.”
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitakan umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya
di neraka, kecuali hanya satu kelompok saja yang selamat. Para shahabat
bertanya siapa kelompok yang selamat tersebut, maka Nabi menjelaskan,
“Apa yang aku berada di atasnya hari ini, dan para shahabatku.” (HR. at-Tirmidzi, dan lainnya).
Satu kelompok itu disebut al-Firqah an-Najiyah (Kelompok yang selamat). Yakni selamat dari penyimpangan dan kesesatan di dunia. Selamat dari adzab di akhirat.
Musa bin Harun rahimahullah berkata, “Aku telah mendengar Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika ditanya tentang hadits yang berlafazh (artinya) : “umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan…’ beliau mengatakan : “Jika yang dimaksud bukanlah ahlul hadits maka aku tidak tahu siapa mereka.”
Dalam riwayat lain dengan lafazh : “Jika ath-Thaifah al-Manshurah ini bukan Ash-habul Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka.” Dalam riwayat lain : “Mereka adalah ahlul ‘ilmi dan ahlul atsar.” (lihat ash-Shahihah I/543)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata : “Para ‘ulama Islam yang mu’tabar dari kalangan ahli hadits dan selain mereka telah bersepakat bahwa al-Firqatun Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah adalah sama.
Mayoritas mereka mengatakan : Bahwasanya golongan tersebut adalah ahlul
hadits…” [ Lihat kitab Ahlul hadits hum Ath-Thaifah Al-Manshurah
an-Najiyah (36) ]
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah ditanya : “Apakah anda membedakan antara ath-Thaifah al-Manshurah dengan al-Firqah an-Najiyah?”
Beliau rahimahullah menjawab : “ath-Thaifah
al-Manshurah ialah al-Firqah an-Najiyah, keduanya adalah satu, mereka
adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan mereka adalah as-Salafiyyun.”
[ Lihat al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As-ilah al-Manahij al-Jadidah, oleh Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan (75-footnote) ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [2]
Al-Imam ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al-’Ukbari rahimahullah (wafat tahun 387 H) dalam karya besarnya yang berjudul Al-Ibanah al-Kubra, mengatakan:
“Bahwa dasar iman kepada Allah yang
wajib atas makhluk (manusia dan jin) untuk meyakininya dalam menetapkan
keimanan kepada-Nya, ada tiga hal:
Pertama: Seorang hamba harus meyakini
Rububiyyah-Nya, yang dengan itu dia menjadi berbeda dengan atheis yang
tidak menetapkan (mengingkari) adanya pencipta.
Kedua: Seorang
hamba harus meyakini Wahdaniyyah-Nya (Uluhiyyah-Nya), yang dengan itu
dia menjadi berbeda dengan jalannya orang-orang musyrik yang mengakui
sang Pencipta namun menyekutukan-Nya dengan dia beribadah kepada
selain-Nya.
Ketiga: Meyakini
bahwa Dia (Allah) bersifat dengan sifat-sifat (kesempurnaan) yang Dia
harus bersifat dengannya, berupa sifat Ilmu, Qudrah, Hikmah, dan semua
sifat yang Dia menyifati diri-Nya dalam kitab-Nya.”
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [3]
“al-Qur’an Semuanya tentang Tauhid”Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur`an berisi tentang :
1. Berita tentang Allah, Nama-Nama,
Shifat-Shifat, dan Perbuatan-Perbuatan-Nya, serta Ucapan-Ucapan-Nya.
Inilah TAUHID AL-‘ILMI AL-KHABARI (Tauhid yang berisi ilmu dan berita
tentang Allah. Yang meliputi Tauhid Rububiyyah dan Tauhid al-Asma wa
ash-Shifat, pen)
2. Ajakan untuk beribadah kepada Allah
satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan segala yang
diibadahi selain-Nya. Ini TAUHID AL-IRADI ATH-THALABI (Tauhid kehendak
dan permintaan hanya kepada Allah. Yakni Tauhid Ibadah / Tauhid
Uluhiyyah, pen)
3. Perintah dan larangan, serta
keharusan untuk mentaati perintah dan larangan-Nya. Ini adalah HAK-HAK
TAUHID dan PENYEMPURNA TAUHID.
4. Berita tentang pemuliaan terhadap
ahlu Tauhid, karunia yang mereka dapatkan di dunia, dan kemuliaan yang
mereka dapatkan di akhirat. Ini adalah BALASAN BAGI ORANG YANG
MENTAUHIDKAN-NYA.
5. Berita tentang orang-orang yang
berbuat syirik, hukuman yang menimpa mereka di dunia, dan apa yang
ditimpakan kepada di akhirat berupa adzab. Ini adalah hukuman atas
BARANGSIAPA YANG KELUAR DARI HUKUM TAUHID.
Jadi al-Qur`an semuanya tentang Tauhid,
hak-hak Tauhid, dan balasan bagi yang berTauhid, dan tentang Syirik dan
orang-orangnya serta hukuman atas mereka.”
[Madarij as-Salikin III/449]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [4]
Apa makna “Salafi” dan “Salafiyyah“?
Pertanyaan : Kami ingin tahu tafsir (penjelasan) kata “as-Salaf“, dan siapakah Salafiyyun itu?
Jawab : “as-Salaf” adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka adalah para pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang berjalan di atas manhaj mereka hingga hari kiamat. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang al-Firqah an-Najiyah (kelompok yang selamat) beliau menjawab, “Mereka adalah barangsiapa yang berada di atas prinsip seperti yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.”
[ Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah, no. 6149 ]
Pertanyaan : Apakah makna “as-Salafiyyah“, bagaimana pendapat anda tentangnya?
Jawab : “as-Salafiyyah” adalah penisbatan kepada “as-Salaf“. Sedangkan “as-Salaf” adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam (‘ulama) pembawa petunjuk/ilmu dari kalangan generasi tiga abad pertama – radhiyallahu ‘anhum – , yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan, yaitu dalam sabda beliau, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”
“as-Salafiyyun” adalah bentuk jamak dari “as-Salafy“, yaitu nisbah kepada “as-Salaf“. Telah dijelaskan maknanya di atas, yaitu orang-orang yang berjalan di atas manhaj salaf, yakni mengikuti al-Kitab (al-Qur`an) dan as-Sunnah, berdakwah (mengajak) kepada al-Kitab dan as-Sunnah, serta mengamalkannya. Dengan itu mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[ Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah, no 1361 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [5]
“Di antara Prinsip-Prinsip Dakwah Salafiyyah“
Pertama, Mementingkan dan Perhatian Besar terhadap Mentuntut Ilmu Syar’i dan Upaya Memahami Agama
Kedua, Semangat untuk Mengamalkan Ilmu
Ketiga, Berdakwah ke Jalan Allah di atas Bashirah
Keempat, Perhatian Besar terhadap Aqidah Salaf, baik secara keilmuan, pengamalan, dan mengajarkannya.
Kelima, Perhatian Besar terhadap Sunnah Nabawiyyah, semangat besar untuk mengamalkannya, dan mengajak kepadanya.
Keenam, Keterkaitan yang sangat Kuat dengan Para ‘Ulama Sunnah
Ketujuh, Menghindar sejauh-jauhnya dari Hizbiyyah dan Kelompok-kelompok Islam Sirriyyah (rahasia)
Kedelapan, Konsisten dengan prinsip yang
ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah serta apa yang disepakati oleh
Salaful Ummah dalam menyikapi para pemimpin dan pemerintah (muslimin)
Kesembilan, Menentang Para Ahlul Bid’ah dan Mentahdzir Mereka
Kesepuluh, Konsisten dengan al-Kitab dan as-Sunnah dalam Semua Urusan dan Kondisi kita
Dari Kitab Ushul ad-Dakwah as-Salafiyyah, asy-Syaikh ‘Abdus Salam bin Barjis Alu ‘Abdil Karim.
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [6]
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam kitabnya (Shahih al-Bukhari) berkata,“Bab : Berilmu dahulu sebelum berkata dan beramal. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Berilmulah, bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah.” [QS. Muhammad “ 19], pada ayat tersebut Allah memulai dengan perintah untuk berilmu.
“Sesungguhnya para ‘ulama adalah pewaris
para nabi. Mereka (para nabi tersebut) mewariskan ilmu. Barangsiapa
yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang sempurna.
Barangsiapa yang menempuh suatu jalan, yang padanya dia mencari/menuntut
ilmu maka niscaya Allah mudahkan untuknya jalan menuju al-Jannah
(surga).”
Allah Jalla Dzikruhu berfirman, “Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” [QS. Fathir : 28] Allah juga berfirman, “Tidak akan bisa memahaminya (permisalan-permisalan dalam al-Qur`an) kecuali orang-orang yang berilmu.” [QS. Al-‘Ankabut : 43] “Mereka berkata, kalau seandainya kami dulu mendengar dan memahami maka kami tidak akan menjadi penduduk neraka Sa’ir.” [QS. Al-Mulk : 10] “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu” [az-Zumar : 9]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, niscaya Allah jadikan dia Faqih (berilmu) tentang agamanya.” Ilmu itu hanyalah bisa didapat dengan cara belajar. …
[ Sumber : Shahih al-Bukhari, Kitab al-‘Ilmi, bab ke-11 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [7]
PELAJARILAH ILMU SYAR’I
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu. Karena mencarinya
adalah ibadah, mempelajarinya karena Allah merupakan amal kebaikan,
mencurahkannya bagi pemilik ilmu adalah taqarrub, mengajarkan ilmu
kepada orang yang tidak berilmu adalah shadaqah, membahasnya adalah
jihad, dan mengingat-ingatnya adalah tasbih.”
[ ad-Dailami 2238, Tadzkirah as-Sami’ 35, Majmu’ al-Fatawa IV/42 ]
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
berkata, “Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, sebelum ilmu itu
diangkat. Diangkatnya ilmu tersebut adalah dengan perginya (wafatnya)
para ‘ulama. Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, karena kalian tidak
tahu kapan dia butuh terhadap ilmu yang ada padanya.
Kalian akan dapati orang-orang yang
mengira sedang mengajak (berdakwah) kepada Kitabullah (al-Qur`an),
padahal dia telah mencampakkan al-Qur`an tersebut ke belakang punggung
mereka. Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, … “
[ ad-Darimi (143), Ibnu Wadhdhah (23), al-Ibanah I/324, al-Lalikai I/87 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [8]
“KEUTAMAAN ILMU SYAR’I”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbi tambahkanlah untukku ilmu.” [ QS. Thaha : 114 ]
“[tambahkanlah untukku ilmu]” dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah : “Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan pada keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali tambahan ilmu. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ILMU SYAR’I. Yaitu :
Ilmu yang memberikan faidah pengenalan terhadap apa yang wajib atas seorang mukallaf dalam urusan ibadah dan mu’amalahnya.
Ilmu tentang Allah dan
Shifat-Shifat-Nya, serta apa yang wajib untuk dilakukan terhadap-Nya
berupa menegakkan perintah-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai
kekurangan.
Perputaran itu semua terletak pada ILMU TAFSIR, ILMU HADITS, dan ILMU FIQH.”
[ Fathul Bari, Syarh Shahih al-Bukhari Kitab al-‘Ilmi, Bab Pertama ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [9]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,
“Sesungguhnya yang paling pantas diberikan untuknya hari-hari yang
istimewa, dan sesuatu tertinggi yang perlu dikhususkan dengan
perhatian/semangat yang lebih adalah MENYIBUKKAN DIRI dengan ilmu-ilmu
syar’iyyah yang diterima dari manusia terbaik (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).
Tidak ada seorang berakalpun yang
meragukan bahwa poros ilmu-ilmu syar’i tersebut adalah pada Kitabullah
(al-Qur`an) yang diikuti dan Sunnah Nabi-Nya. Adapun ilmu-ilmu lainnya,
bisa jadi merupakan alat/sarana yang membantu untuk bisa memahami
al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itu merupakan sesuatu yang harus
dicari/dipelajari. Atau sesuatu yang sangat bertentangan dengan
al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itu merupakan sesuatu yang merugikan dan
harus dihilangkan.”
[ Muqaddimah Hadyu as-Sari ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [10]
“Salaf” dan “Salafiyyun” Fadhilatu asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad Aman al-Jami rahimahullah berkata, “al-Firqah an-Najiyah yang mereka itu adalah “Salaf” dan “Salafiyyin“. “Salaf” yang pertama adalah para shahabat dan para tabi’in. Kemudian “Salafiyyun“, yaitu para pengikut Salaf.
Apabila kamu melihat dari sisi sejarah, “Salaf” adalah para shahabat dan para tabi’in.
Oleh karena itu orang yang bermadzhab dengan madzhab mereka dan
bermanhaj dengan manhaj mereka pada hari ini dan setelah hari ini, tidak
disebut “Salaf“, namun disebut “Salafy“, yakni dinisbatkan pada Salaf pertama dalam aqidahnya. Kelompok ini yang terdapat padanya sifat sebagai “al-Firqah an-Najiyah“, atau “ath-Tha’ifah al-Manshurah” yang berjalan di atas al-Haq.“
[ Syarh ar-Risalah at-Tadmuriyah ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [11]
Di antara Tanda dan Ciri Khas Dakwah Salafiyyah:
Merealisasikan Ubudiyyah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Merealisasikan pemurniaan Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Konsisten berpegang kepada paham Salafush Shalih terhadap dalil-dalil Syar’iyyah. Tidak keluar dari paham mereka.
Waspada dan tahdzir dari bid’ah dan ahlul bid’ah.
Wasathiyyah (Sikap Tengah), antara ghuluw (berlebihan) dan jafa’ (kurang).
Kokoh di atas al-Haq.
Semangat itu bersama dan bersama di atas al-Haq dan dengan al-Haq.
Mencampakkan perpecahan dan perselisihan.
Semangat untuk mengumpulkan ilmu nafi’,
menyebarkannya di tengah-tengah umat, dan mengajak (mendakwahi) umat
kepadanya, disertai sikap sabar terhadap berbagai gangguan/resiko dalam
menempuhnya.
Beramal dengan ilmu.
[ dari Ma hiya as-Salafiyyah? Oleh asy-Syaikh DR. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [12]
DORONGAN UNTUK BERPEGANG KEPADA AS-SUNNAH dan MANHAJ SALAF, serta TAHDZIR DARI BID’AH dan MENYIMPANG DARI MANHAJ SALAF
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka
WAJIB atas kalian untuk berPEGANG dengan Sunnah-ku, dan Sunnah para
Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku yang mendapat petunjuk. Pegang teguhlah
sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah
kalian dari perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” [ HR. Abu Dawud 4607, at-Tirmidzi 2676, Ibnu Majah 46 ]
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Berittiba’lah kalian dan janganlah kalian berbuat bid’ah.
Sungguh kalian telah dicukupi.” [ diriwayatkan oleh ad-Darimin dalam
muqaddimah Sunan-nya ]
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah
berkata, “Bersikaplah kalian sebagaimana kaum tersebut (yakni para
shahabat) bersikap. Karena sesungguhnya berdasarkan ilmu mereka
bersikap. Berdasarkan pandangan yang sangat tajam mereka menahan diri,
dan sebenarnya untuk menyingkap (detail-detail permasalahan yang
dimunculkan) mereka lebih mampu, dan terhadap keutamaan – kalau
seandainya ada – pada permasalahan tersebut mereka lebih berhak.
Apabila kalian mengatakan, telah muncul perkara baru (bid’ah) setelah
mereka, maka tidaklah membuat/memunculkan bid’ah tersebut kecuali
orang-orang yang menyelisihi/menentang bimbingan mereka dan benci
terhadap sunnah (jalan) mereka. Para shahabat
itu telah menyifatkan (menjelaskan) agama ini dengan penjelasan yang
menyembuhkan, mereka telah berbicara tentang agama ini dengan
pembicaraan yang mencukupi. Jadi apa yang melebihi mereka, maka melahkan
dirinya (tanpa guna), sebaliknya apa yang di bawah mereka maka itu
sesuatu yang kurang. Telah ada kaum yang kurang dari mereka, sehingga
kaum itu pun jatuh pada sikap jafa’ (tidak berpegang kepada prinsip yang
benar). Ada pula kaum yang melebih mereka, sehingga kaum itu pun jatuh
pada sikap ekstrim (dalam beragama). Sesungguhnya mereka (para shahabat
itu) berada di antara dua sikap tersebut, benar-benar di atas petunjuk
yang lurus.” [ diriwayatkan oleh Abu Dawud 4612, al-Ajurri dalam
asy-Syari’ah hal. 221-222 ]
al-Imam Abu ‘Amr al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak para Salaf,
meskipun orang-orang menolakmu. Berhati-hati dan waspadalah kamu dari
pikiran/pendapat para tokoh, meskipun mereka menghiasinya dengan
kata-kata yang indah.” [ diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari’ah
hal. 58 ]
[ Lum’ah al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad, al-Imam Ibnu Qudamah ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [13]
AHLUS SUNNAH SEDIKIT JUMLAHNYA
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beruntunglah orang-orang yang terasing.” Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang terasing tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Orang-orang
shalih sedikit jumlahnya, di tengah-tengah orang-orang jelek banyak
jumlahnya. Yang menentang mereka (orang-orang shalih tersebut), lebih
banyak daripada yang mengikuti mereka.” [ lihat ash-Shahihah 1273 ]
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Berwasiatlah kepada Ahlus Sunnah dengan kebaikan. Karena sesungguhnya mereka itu ghuraba‘ (orang-orang terasing).”
Abu ‘Ali al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
“Konsisten dan pegung teguhlah jalan-jalan hidayah, dan tidak akan merugikanmu sedikitnya orang yang menempuhnya.
Waspadalah kamu dari jalan-jalan
kesesatan, dan janganlah kamu tertipu dengan banyaknya orang-orang yang
binasa (karena menempuhnya).
[ al-I’tisham I/122 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [14]
MEWUJUDKAN PERSATUAN UMAT
Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Kaum muslimin tidak akan bisa bersatu
kecuali di atas aqidah yang shahih (benar). Aqidah-lah yang telah
menyatukan para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah sebelumnya mereka terpecah belah. Sebagaimana firman Allah,
“Ingatlah kalian terhadap nikmat
Allah atas kalian, ketika sebelumnya kalian adalah saling bermusuhan,
maka Allah satukan antara hati – hati kalian.” (Ali ‘Imran : 103) ….
TIDAK ADA YANG BISA MENYATUKAN UMAT INI
KECUALI AQIDAH YANG SHAHIH. Adapun apabila kondisi umat masih
berselisih, berbeda-beda dalam aqidah dan keyakinan maka tidak akan bisa
bersatu selamanya!!
… apabila mereka (yaitu orang yang
menyatakan diri sebagai da’i, ingin memperbaiki umat, pen) memang
menginginkan persatuan kaum muslimin, maka hendaknya PERTAMA KALI YAN
MEREKA LAKUKAN ADALAH MEMBENAHI/MELURUSKAN AQIDAH. Urusan aqidah inilah,
yang dulu para rasul – sejak rasul pertama hingga rasul terakhir –
semuanya sangat mementingkannya, dan memulai dakwah dengannya. MAKA
PERTAMA KALI, WAJIB ATAS MEREKA UNTUK MENYATUKAN AQIDAH UMAT TERLEBIH
DAHULU. Apabila aqidah telah disatukan, maka umat akan bersatu. Ini
kalau mereka serius dan jujur dalam dakwah mereka (yakni mereka mengaku
ingin melakukan perbaikan umat, pen). Namun kenyataannya mereka justru
mengejek para da’i yang menjelaskan tentang aqidah, berdakwah kepada
aqidah yang benar, dengan mengatakan, “dai ini mengkafirkan umat, ini
ingin memecah belah kaum muslimin, … .”
Kita katakan kepada mereka, “Kalian
tidak akan bisa menyatukan umat tanpa aqidah yang benar. Kalau aqidah
ini sudah satu, niscaya umat pun akan bisa disatukan dengan sangat
mudah.
Allah Ta’ala berfirman, “Dia
– lah (Allah) yang telah menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan kaum
muslimin. Dan Allah-lah yang menyatukan hati-hati kalian. Kalau kamu
menginfakkah seluruh yang ada di bumi semuanya (untuk menyatukan mereka)
niscaya kamu tidak akan bisa menyatukan hati mereka. Tapi Allah-lah
yang menyatukan antar mereka. sesungguhnya Dia Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana.” (al-Anfal : 62-63) …
Umat tidak akan bersatu kecuali di atas prinsip ibadah kepada Rabb yang satu (yakni Tauhid), yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. …
Inilah cara untuk menyatukan kaum
muslimin. Kalau mereka jujur, maka hendaknya mereka memperbaiki aqidah
kaum muslimin, membersihkan darinya berbagai penyimpangan dan dari
berbagai yang disusupkan padanya. Supaya aqidah tersebut kondisi menjadi
murni sebagaimana aqidah yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, supaya kaum muslimin bisa bersatu di atasnya.”
[ Muqaddimah Syarh terhadap kitab Syarhus Sunnah al-Barbahari ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [15]
HARUS MENGERTI TAUHID dan MENGERTI SYIRIK
Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Tidak cukup bagi seseorang, bahwa dia
sudah mengerti Tauhid dan mengamalkannya. Namun dia harus MENGERTI PULA
LAWANNYA, yaitu SYIRIK. Karena khawatir bakal terjatuh padanya, dan
merusak tauhidnya. Barangsiapa yang tidak mengerti tentang sesuatu,
sangat dikhawatirkan dia terjatuh padanya.
Sebagaimana dikatakan oleh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Sangat
dikhawatirkan akan lepas ikatan Islam seutas demi seutas, apabila
muncul dalam Islam orang-orang yang tidak mengerti tentang Jahiliyyah.”
Karena dia tidak mengerti
perkara-perkara jahiliyyah, atau mengiranya sebagai sesuatu yang baik
padahal termasuk perkara jahiliyyah. Maka akibat kebodohannya terhadap
hakekat sesuatu tersebut, sesuatu itu menjadi rancu bagi dia, sehingga
dia pun melakukannya padahal itu termasuk perkara jahiliyyah.
Demikian pula, yang lebih berbahaya
lagi, orang yang tidak mengerti tentang Syirik, tempat-tempat masuknya,
dan macam-macamnya, serta bahaya-bahayanya, maka dia sangat-sangat
dikhawatirkan untuk terjatuh dalam kesyirikan dalam keadaan dia tidak
tahu/tidak menyadari. Karena jahil (kebodohan) itu merupakan penyakit
yang mematikan.
Seorang penyair mengatakan,
‘Sesuatu itu akan ditampakkan keindahannya oleh lawannya. Maka dengan lawannya, sesuatu bisa menjadi jelas.’
Demikian pula, tidak akan tahu nilai
mahal Tauhid, keutamaan Tauhid, dan tahqiq Tauhid, kecuali orang yang
mengenal kesyirikan dan perkara-perkara jahiliyyah supaya dia
menjauhinya, dan menjaga kemurnian Tauhidnya.
[ I’anatu al-Mustafid, Syarh Kitab at-Tauhid oleh Ma’ali asy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [16]
Pentingnya Mengetahui Kebatilan dan Syubhat, untuk diketahui Bantahannya dan Dijauhi
Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
” … Dari sini tampaklah kesalahan
kesalahan mereka yang mengatakan ‘tidak ada perlunya kita mempelajari
aqidah-aqidah yang batil, dan kita mengetahui madzhab-madzhab batil.
Tidak ada perlunya kita membantah mu’tazilah dan jahmiyyah. Karena
kelompok-kelompok tersebut telah hilang dan sirna. Ajarkan pada umat ini
Tauhid, cukup sudah.’
Atau sebagian lagi mengatakan, ‘Mereka
tidak perlu lagi diajari Tauhid, karena mereka adalah anak-anak fitrah,
tumbuh di negeri muslimin. Ajarkan kepada mereka ilmu-ilmu dunia: ilmu
produksi dan kemodernan. Adapun Tauhid, mereka sudah dapat pelajaran
tersebut dengan fitrahnya atau dari lingkungannya.’
Ada lagi yang mengatakan, ‘Umat sudah
melewati masa-masa khurafat. Karena mereka sekarang sudah mendapatkan
wawasan dan pengetahuan. Sehingga tidak mungkin lagi mereka terjatuh
dalam kesyirikan setelah itu. Syirik itu adanya pada zaman Jahiliyyah.
Ketika manusia masih polos.’
Mereka menamakan syirik dalam ibadah
sebagai syirik polos/biasa. Adapun syirik sebenarnya menurut mereka
adalah apa yang dinamakan dengan syirik politik, atau syirik penguasa,
atau syirik hakimiyyah.
Oleh karena itu mereka tidak
mementingkan untuk mengingkari kesyirikan yang para rasul diutus untuk
mengingkarinya (yaitu syirik Ibadah, pen). mereka meletakkan
pengingkaran mereka pada syirik hakimiyyah saja.
Ini semua di antara tipu daya syaitan
terhadap Bani Adam. … sesungguhnya di sana ada orang-orang yang membuat
umat tidak lagi mau mempelajari tauhid, mempelajari syirik, mengenali
syubhat dan kesesatan, mengajak umat untuk meninggalkan perkara-perkarat
tersebut.
Ini semua, bisa jadi karena kejahilan
(kebodohan) mereka dan karena mereka tidak mengerti, atau bisa jadi
karena mereka hendak ‘menyusup’kan kesesatan di tengah-tengah muslimin
dan ingin merusak aqidah muslimin.
Maka kita HARUS WASPADA dari fenomena
ini. Kita mendengar ada yang mengatakan, ‘mempelajari aqidah mu’tazilah
dan bagaimana membantah mereka, adalah seperti merajam kuburan. Karena
mereka (tokoh-tokoh mu’tazilah itu) sudah mati.’
Kita jawab, “Ya Subhanallah. Memang
benar mereka telah mati sosok-sosok mereka. Namun aqidah mereka masih
tetap ada. Syubhat-syubhat mereka tetap ada. Kitab-kitab mereka masih
dicetak dan ditahqiq sekarang, dibiayai untuk itu, serta dipromosikan.
Maka bagaimana kita akan dikatakan biarkan mereka karena sudah mati??!!
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan syubhat-syubhat kaum musyrikin dari umat-umat terdahulu,
baik Fir’aun, Haman, Qarun, kaum Nuh, ‘Ad, dan Tsamud, dll padahal
mereka adalah umat yang sudah musnah. Namun Allah menyebutkan
syubhat-syubhat mereka dan bantahan atasnya.
Yang dilihat bukan sosok-sosoknya, namun
yang dilihat adalah aqidah dan kebatilannya. Yang dilihat adalah
syubhat-syubhatnya, dan masing-masing kaum itu ada pewarisnya.”
[ I’anatu al-Mustafid,Syarh Kitab at-Tauhid oleh Ma’ali asy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [17]
APAKAH MANHAJ ADA KAITANNYA dengan SURGA dan NERAKA??
Apakah Kebenaran Manhaj, Ada Kaitannya dengan Jannah (Surga) dan Nar (neraka)?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah :
“Ya. Manhaj apabila benar, maka
pemiliknya menjadi termasuk penduduk al-Jannah (surga). Apabila dia
berjalan di atas manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj as-Salaf ash-Shalih maka dia menjadi termasuk penduduk al-Jannah, biidznillah.
Sebaliknya, apabila dia berjalan di atas manhaj sesat, maka dia terancam dengan neraka.
Jadi, benar tidaknya manhaj itu berkonsekuensi jannah (surga) atau neraka.”
[al-Ajwibah al-Mufidah, pertanyaan no: 47 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [18]
KENAPA MENTAHDZIR dan MEMBAHAS PENYIMPANGAN, padahal musuh kita orang kafir…, padahal jumlah kita sedikit…??
Apakah mentahdzir dari Manhaj-Manhaj
yang Menyimpang dan dari Para Da’i Sesat Merupakan Perbuatan Memecah
Belah Kaum Muslimin dan Mencerai-beraikan Barisan Mereka?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah :
“TAHDZIR dari manhaj-manhaj yang menyimpang dari manhaj salaf
justru merupakan tindakan MENYATUKAN kalimat kaum muslimin, BUKAN
tindakan memecah belah barisan mereka. Karena yang memecah belah barisan
kaum muslimin sesungguhnya adalah manhaj-manhaj yang menyimpang dari
manhaj salaf.
[al-Ajwibah al-Mufidah, pertanyaan no: 57 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [19]
MENJELASKAN KESALAHAN KITAB atau KELOMPOK TERTENTU, BUKAN TINDAKAN MEMBEBERKAN AIB PARA DA’I
Menjelaskan Sebagian Kesalahan-Kesalahan
Kitab-Kitab Hizbiyyah atau Kelompok-Kelompok Menyimpang, apakah ini
merupakan tindakan Membeberkan Aib/Kejelekan Para Da’i?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan :
“Tidak. Itu bukan tindakan membeberkan
kejelekan para da’i. Karena kitab-kitab tersebut sebenarnya bukan kitab
dakwah, dan mereka – para penulis kitab-kitab tersebut dan pembawa
paham-paham (sesat) tersebut – sebenarnya bukanlah para da’i (yang
mengajak) ke jalan Allah di atas bashirah, ilmu, dan kebenaran.
Kita, tatkala menjelaskan
kesalahan-kesalahan kitab-kitab tersebut – atau para “da’i” tersebut –,
bukanlah dalam rangka menjatuhkan kepribadiannya. Namun dalam rangka
memberikan nasihat kepada ummat, agar (umat) tidak tercemari oleh
paham-paham yang tidak jelas, yang itu bisa menjadi fitnah dan memecah
belah persatuan ummat, sehingga terceraiberailah jama’ah.
Bukanlah tujuan kita pribadi-pribadi
tertentu, namun yang kita tuju adalah paham-paham yang ada di
kitab-kitab tersebut, yang masuk kepada kita dengan nama “dakwah”.
[al-Ajwibah al-Mufidah, pertanyaan no: 55 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [20]
WAJIB MENTAHDZIR
Apakah Wajib Mentahdzir dari Bahaya Manhaj-Manhaj yang Menyimpang dari Manhaj Salaf?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab,
“Iya. WAJIB mentahdzir dari bahaya
manhaj-manhaj yang menyimpang dari manhaj salaf. Ini termasuk nasihat
untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam muslimin, serta untuk
keumuman muslimin.
Kita mentahdzir dari bahaya orang-orang
pembawa kejelekan, mentahdzir dari bahaya manhaj-manhaj yang menyimpang
dari manhaj Islam. Kita jelaskan madharat manhaj-manhaj tersebut kepada
umat.
Sebaliknya, kita mendorong umat untuk senantiasa berpegang kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Ini WAJIB.
Namun ini termasuk dalam kewenangan
ahlul ilmi, yang wajib atas mereka untuk masuk dalam permasalahan ini.
Wajib atas mereka untuk menjelaskan kepada umat dengan cara yang tepat
sesuai syar’i dan cara yang sukses – biidznillah.
[al-Ajwibah al-Mufidah, pertanyaan no: 53 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [21]
IRADAH KAUNIYYAH dan IRADAH SYAR’IYYAH
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
“AL-IRADAH AL-KAUNIYYAH (kehendak untuk
menjadikan) adalah Masyi’ah (kehendak) Allah untuk menciptakan. Seluruh
makhluk masuk di bawah masyi’ah dan iradah (kehendak)-Nya yang
kauniyyah. (Kehendak Allah jenis ini pasti terjadi dan terwujud, pen)
Adapun AL-IRADAH AD-DINIYYAH
ASY-SYAR’IYYAH (Kehendak Syar’i, yakni kehendak Allah yang tertuang
dalam syari’at-Nya, pen) : ini mengandung kecintaan dan keridhaan-Nya,
mengenai semua yang Allah perintahkan dan Allah jadikan sebagai syari’at
dan agama. Kehendak ini khusus dengan iman dan amal shalih. (Kehendak
Allah jenis ini tidak semuanya terjadi/terwujud, pen).”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Pangkal kesesatan kelompok/pihak/aliran
yang tersesat adalah menyamakan antara Kehendak-Nya (masyi’ah/al-Iradah
al-Kauniyyah) dengan cinta dan ridha-Nya (yang merupakan kandungan
al-Iradah asy-Syari’iyyah,pen).
Kelompok sesat: Jabriyyah dan Qadariyyah telah menyamakan antara dua hal tersebut.
Kelompok Jabriyyah berkeyakinan bahwa
kejadian di alam ini semuanya adalah berdasar qadha dan qadar-Nya,
sehingga semuanya dicintai dan diridhai oleh-Nya (baik ketaatan maupun
kemaksiatan, keimanan maupun kekufuran. Karena semuanya terjadi dengan
qadha dan qadar-Nya, pen).
Sementara Kelompok Qadariyyah yang
meniadakan takdir, mereka berkeyakinan : bahwa kemaksiatan tidak
dicintai dan tidak diridhai oleh-Nya, sehingga Allah tidak
mentakdirkannya. Jadi kemaksiatan itu terjadi diluar masyi’ah-Nya
(Iradah Kauniyyah = kehendak menjadikan) dan penciptaan-Nya. (sehingga
menurut Qadariyyah, ada kehendak Allah yang tidak terjadi/terwujud.
Sebaliknya, ada kejadian di alam ini yang diluar kehendak Allah, pen).”
(dari Madarijus Salikin dengan ada perubahan)
[ at-Tanbihat as-Saniyyah ‘ala al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rasyid, hal.69 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [22]
Makna TAUHID AL-ASMA’ WA ASH-SHIFAT
Adalah keyakinan akan keesaan Allah – Jalla Jalaluhu
– dalam kesempurnaan yang mutlak dari segala sisinya, dengan
sifat-sifat keagungan, kemuliaan, dan keindahan. Tidak ada satu pun yang
bersekutu dengan-Nya dalam sifat-sifat tersebut dari sisi manapun.
Yaitu dengan menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya, atau nama-nama dan
sifat-sifat yang telah ditetapkan untuk-Nya oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lengkap dengan semua makna dan hukum nama-nama dan sifat-sifat tersebut.
Yang ditetapkan oleh Allah dan oleh
Rasul-Nya tersebut sebagaimana yang terdapat dalam al-Kitab (al-Qur`an)
dan as-Sunnah. Menetapkannya dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan
dan kemuliaan. Tanpa menafikan sedikitpun dari nama-nama dan sifat-sifat
(yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya) tersebut, dan tanpa
ta’thil (mengingkari), tahrif (menyimpangkan makna), serta tanpa pula
tamtsil (menyerupakan dengan makhluk-Nya).
Juga dengan menafikan apa yang telah
dinafikan oleh Allah dari diri-Nya atau dinafikan oleh Rasul-Nya dari
diri-Nya, yaitu berupa berbagai kekurangan dan aib serta segala sesuatu
yang bertentangan dengan kesempurnaan-Nya.
[ al-Qaul as-Sadid Syarh Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [23]
Makna TAUHID AR-RUBUBIYYAH
Seorang hamba meyakini bahwa Allah
adalah Rabb, Esa dalam menciptakan, memberi rizki, dan mengatur (seluruh
makhluknya, pen). Yang mentarbiyah seluruh makhluk dengan berbagai
kenikmatan, dan mentarbiyyah makhluk-makhluknya yang khusus – yaitu para
nabi dan para pengikutnya – dengan aqidah shahihah, akhlak yang indah,
ilmu yang bermanfaat, dan amal shalihah. Inilah tarbiyah yang bermanfaat
untuk hati dan ruh, yang membuahkan kebahagiaan di dua negeri (di dunia
dan di akhirat).
[ al-Qaul as-Sadid Syarh Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ]
Tauhid jenis ini diakui pula oleh kaum
musyrikin arab yang Rasul diutus kepada, namun tidak memasukkan mereka
ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kalau
kamu tanya mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan
mengendalikan matahari dan bulan?’ Mereka pasti akan menjawab, “Allah”. (QS. Al-‘Ankabut : 61)
Rasulullah tetap memerangi mereka
serta menghalalkan darah dan harta mereka.
[ lihat al-Qawa’id al-Arba’ ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [24]
Makna TAUHID AL-ULUHIYYAH atau TAUHID AL-‘IBADAH
Ilmu dan pengakuan bahwa Allah adalah
yang memiliki hak uluhiyyah dan ‘ubudiyyah atas segenap makluk-Nya
semuanya (yakni Allah yang berhak untuk diibadahi oleh seluruh
makhluk-Nya, pen). Mengesakan Allah satu-satunya dengan semua bentuk
peribadahan dan memurnikan agama (amal) hanya untuk Allah satu-satunya.
Tauhid ini mengharuskan adanya dua jenis
tauhid sebelumnya dan mengandung dua jenis tauhid tersebut. Karena
Uluhiyyah yang merupakan salah satu sifat-Nya, meliputi semua
sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat-sifat Rububiyyah dan keagungan.
Sesungguhnya Dia (Allah) adalah ma’luh dan ma’bud (yang berhak
diibadahi), karena dia memiliki sifat-sifat keagungan dan kemuliaan,
karena dia memberikan kebaikan kepada makhluk-makhluk-Nya berupa
berbagai keutamaan. Jadi, keesaan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat
kesempurnaan, bersendirian-Nya dalam Rububiyyah, MENGHARUSKAN bahwa
TIDAK ADA SATUPUN YANG BERHAK UNTUK DIIBADAHI selain DIA.
Maksud tujuan dakwah para rasul, dari
rasul pertama hingga rasul terakhir, adalah mendakwahkan Tauhid ini
(yakni TAUHID AL-ULUHIYYAH, pen).
Maka semua Kitab Samawi, dan semua
rasul, mengajak kepada Tauhid ini. serta melarang dari lawannya, yaitu
syirik dan penyekutuan. Terutama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan al-Qur’an al-Karim ini. Sesungguhnya beliau memerintahkan Tauhid
tersebut, mewajibkannya, menegaskannya dengan sebenar-benarnya,
menjelaskannya dengan penjelasan yang sangat besar. Memberitakan bahwa
tidak ada keselamatan, tidak ada kesuksesan, dan tidak ada kebahagiaan
kecuali dengan tauhid ini. Bahwa seluruh dalil aqliyyah dan naqliyyah,
bukti-bukti yang ada di alam ini dan bukti-bukti yang ada dalam diri
manusia, merupakan bukti dan argumentasi atas perintah dengan tauhid ini
dan kewajibannya.
Tauhid merupakan Hak Allah yang wajib
ditunaikan oleh hamba. Tauhid merupakan perintah agama yang terbesar,
prinsip segala prinsip, dan dasar semua amal.
[ al-Qaul as-Sadid Syarh Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ]
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin
rahimahullah berkata,
Tauhid al-Uluhiyyah, adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ibadah.
Yaitu dengan beribadah kepada-Nya
satu-satunya, tidak beribadah kepada selain-Nya, baik itu malaikat,
rasul, nabi, wali, pohon, batu, matahari, bulan, dan lainnya, siapapun
dia. …
Tauhid inilah yang DIINGKARI OLEH KAUM MUSYRIKIN yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada mereka. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya
mereka, apabila disampaikan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi
kecuali Allah, mereka menyombongkan diri. Seraya mengatakan, akankah
kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami gara-gara seorang penyair
yang gila.” (ash-Shaffat : 35-36)
Karena mereka mengingkari Tauhid ini, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerangi mereka dan menghalalkan darah dan harta mereka … dan
pengakuan mereka (kaum musyrikin) terhadap Tauhid Rububiyyah tidaklah
mengeluarkan mereka dari kesyirikan, bukan pula penjamin atas
keselamatan darah dan harta mereka.”
[ Taqrib at-Tadmuriyyah ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [25]
PENTINGNYA AQIDAH TAUHID
Sesungguhnya Aqidah Tauhid adalah asas
(dasar) agama. Semua perintah dan larangan, peribadatan dan ketaatan,
semuanya didirikan di atas Aqidah Tauhid, yang merupakan makna Syahadah
“Laa ilaaha illallah” dan “Muhammad Rasulullah”. Dua Kalimat Syahadat,
yang keduanya merupakan rukun Islam yang pertama.
TIDAK AKAN SAH SEBUAH AMALAN, tidak akan
diterima sebuah Ibadah, dan seseorang tidak akan bisa selamat dari
neraka dan masuk jannah (surga), kecuali apabila MENDATANGKAN TAUHID
INI, dan MELURUSKAN AQIDAH.
Oleh karena itu, perhatian para ‘ulama rahimahumullah
terhadap permasalahan ini (Aqidah Tauhid) SANGAT BESAR. Itulah (Tauhid)
yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul-Nya,
menurunkan kitab-kitab-Nya …
Kemudian setelah lurus aqidahnya, maka ketika itu seseorang dituntut untuk mendatangkan amal-amal lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu beliau bersabda,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi
suatu kaum dari kalangan Ahlul Kitab. Maka JADIKANLAH DAKWAH PERTAMA
YANG KAMU SERU MEREKA KEPADANYA adalah SYAHADAT ‘Laa ilaaha illallah’
dan ‘Muhammad Rasulullah’. Apabila mereka sudah mentaatimu dalam hal
itu, berikutnya ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas
mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Maka
JADIKANLAH DAKWAH PERTAMA YANG KAMU SERU MEREKA KEPADANYA adalah
SYAHADAT ‘Laa ilaaha illallah’ dan ‘Muhammad Rasulullah. “
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Aku
diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mengatakan,
‘Laa ilaaha illallah’. Apabila mereka mau mengatakan kalimat tersebut,
maka terjaminlah darah dan harta mereka, kecuali dengan haknya.
Sedangkan hisab mereka ada di sisi Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ini menunjukan bahwa Aqidah Tauhid
merupakan asas (dasar) yang wajib diberikan perhatian terhadapnya
pertama kali sebelum segala sesuatu. Kemudian apabila sudah terwujud,
maka perhatikan perkara-perkara agama lainnya dan perkara-perkara
ibadah.”
[ asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, dari Muqaddimah Kitab I’anatu al-Mustafid bi syarh Kitab at-Tauhid, hal. 18 (dengan sedikit perubahan) ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [26]
SALAF BENAR-BENAR MEMANFAATKAN WAKTU UNTUK ILMU
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia terlalaikan padanya : KESEHATAN dan WAKTU LUANG.” (HR. al-Bukhari 6049)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Manfaatkanlah
lima hal, sebelum kedatangan lima hal yang lainnya: Masa mudamu sebelum
masa tuamu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa kayamu sebelum masa
miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan masa hidupmu sebelum
kematianmu.” (HR. al-Hakim 4/306)
Al-Mu’afa bin Zakariyya rahimahullah meriwayatkan dari sebagian para murid al-Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah,
yang saat itu berada di sisi Abu Ja’far ath-Thabari sesaat sebelum
wafatnya. Ketika itu disebutkan (diperbincangkan/dibahasa) di hadapan
beliau permasalahan do’a dari Ja’far bin Muhammad.
al-Imam Abu Ja’far (yang saat itu sedang
dalam kondisi detik-detik menjelang kematiannya, pen) meminta
diambilkan tinta dan kertas, supaya beliau bisa menulisnya (faidah ilmu
tersebut).
Maka yang lainnya keheranan seraya mengatakan, “Apakah juga dalam kondisi seperti ini (yakni engkau masih mau menulis, pen)?
al-Imam Abu Ja’far ath-Thabari menjawab,
“Semestinya seseorang tidak meninggalkan kesempatan untuk mengambil
ilmu, sampai waktu kematiannya.”
[ lihat Tarikh Dimasyq 52/199 ]
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [27]
AMALAN PALING UTAMA dan MULIA serta SANGAT PENTING
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Jika ath-Thaifah al-Manshurah ini bukan Ash-habul Hadits, maka aku tidak tahu lagi siapa mereka.” Dalam riwayat lain : “Mereka adalah ahlul ‘ilmi dan ahlul atsar.” (lihat ash-Shahihah I/543)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Dulu generasi yang telah lalu dari kalangan para ‘ulama mengatakan, ‘Berpegang Teguh dengan as-Sunnah adalah KESELAMATAN.” (al-Laalikaa’i 15, 136, 137)
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
mengatakan, “as-Sunnah itu laksana perahu Nabi Nuh. Barangsiapa
menaikinya maka dia selamat, barangsiapa yang tidak menaikinya maka dia
tenggelam.” (Tarikh Baghdad 7/336)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah
juga berkata, “Tidaklah mencintai hadits kecuali para jantannya kaum
pria, dan tidaklah membenci hadits kecuali para bancinya kaum pria.”
(Syarafu Ash-habil Hadits 142)
Bisyr bin al-Harits al-Jafi rahimahullah berkata, “Aku tidak tahu di muka bumi suatu amalan yang lebih utama dibandingkan MENCARI ILMU DAN HADITS, bagi barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dan baik niatnya dalam amalan tersebut.” (Syarafu Ash-habil Hadits 162)
Muhammad bin Ahmad bin Abi ats-Tsalj
menuturkan : Kakekku menyampaikan kepadaku, “Aku bertanya kepada Ahmad
bin Hanbal, “Wahai Abu ‘Abdillah, mana yang lebih engkau sukai :
seseorang itu menulis hadits, ataukah dia shalat dan berpuasa?
Beliau menjawab, “Menulis hadits.”
Aku tanya, “Dari mana Anda lebih mengutamakan menulis hadits dibandingkan shalat dan puasa?”
Ahmad bin Hanbal menjawab, “(Dengan
menulis hadits, pen) supaya tidak ada yang mengatakan, ‘Aku melihat
sebuah kaum melakukan sesuatu, maka aku pun mengikutinya.” (yakni dengan
ilmu hadits, akan terwujud ittiba’ terhadap as-Sunnah dan akan
terberantas sikap taqlid dan bid’ah, pen).
[Syarafu Ash-habil Hadits 171 ]
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
pernah berkata kepada al-Hasan bin Tsawab : “Aku tidak mengetahui
manusia benar-benar sangat butuh untuk mencari hadits dibandingkan pada
zaman ini.”
Aku (al-Hasan bin Tsawab) bertanya, “Kenapa?”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal menjawab,
“Telah muncul berbagai bid’ah. Barangsiapa yang tidak memiliki bekal
hadits, maka dia akan terjatuh dalam kebid’ahan-kebid’ahan tersebut.”
(al-Ashbahani dalam at-Targhib wa at-Tarhib, 490)
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah
juga berkata, “Mencari hadits pada zaman ini lebih utama dari segala
macam ibadah tathawwu’. Karena banyak sunnah yang hilang dan tidak
dikenal, sebaliknya telah bermunculan berbagai kebid’ahan dan para
pengusungnya banyak berkuasa.” [Syarafu Ash-habil Hadits 171 ]
Apabila demikian kondisinya pada zaman
al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Khathib al-Baghdadi, maka bagaimana
dengan zaman kita sekarang??!
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [27]
DAKWAH PARA NABI :
Mendakwahkan Tauhid, ataukah Memperjuangan Tegaknya Daulah?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata,
Dengan kemampuanku yang lemah ini, aku telah menulis sebuah kitab berjudul :
(Manhajul Anbiya fi ad-Da’wah ila Allah fihi al-Hikmah wa al-‘Aql)
Jika kalian mau, silakan merujuk padanya dan mengambil faidah darinya.
Pada kitab tersebut, aku menjelaskan tentang Dakwah para Nabi – ‘alaihim ash-shalatu wa as-Salam
– bahwa itu adalah jalan yang Allah gariskan, tidak boleh menyimpang
darinya, baik ke kanan maupun ke kiri. Menyimpang dari manhaj para nabi
dalam dakwah ke jalan Allah merupakan PENYIMPANGAN dan PENYELEWENGAN kepada KESESATAN dan KEBINASAAN. Karena manhaj tersebut diletakkan dan digariskan oleh Allah – Tabaraka wa Ta’ala – untuk para Nabi sejak rasul pertama, Nuh ‘alahi as-salam, hingga penutup para rasul yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tidaklah
Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun, kecuali pasti Kami wahyukan
kepadanya bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Aku, maka
beribadahlah kalian kepada-Ku.” (QS. Al-Anbiya : 25)
Ayat ini mengisahkan kepada kita, bagaimana permulaan dakwah para Nabi – ‘alaihim ash-shalatu wa as-Salam – dan apa intisari dakwah mereka.
Aku tegaskan dalam kitab tersebut, KEWAJIBAN UNTUK KONSISTEN TERHADAP MANHAJ tersebut berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah, serta fithrah dan akal. Bahwa DAKWAH YANG TIDAK DIMULAI DENGAN TAUHID, TIDAK BERTOLAK DARI TAUHID, MAKA DAKWAH TERSEBUT TELAH MENYIMPANG DARI MANHAJ ALLAH, dan memilih JALAN-JALAN KESESATAN dan HAWA NAFSU. Serta mengajak para mad’u untuk menyeleweng dari jalan Allah yang lurus.
Setiap (kelompok-kelompok) dakwah yang
ada sekarang ini di muka bumi, apabila menggariskan sebuah jalan/prinsip
untuk dirinya dalam berdakwah ke jalan Allah selain jalan/prinsip yang
digariskan oleh Allah untuk para nabi dan rasul-Nya, konsisten dan
melaksanakan prinsip tersebut, mereka (kelompok dakwah itu) akan SESAT.
Sebagaimana firman Allah, “Siapakah yang membenci millah Ibrahim, kecuali orang-orang yang membodohi dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah : 130)
APAKAH ITU MILLAH IBRAHIM?
Millah Ibrahim adalah TAUHID dan DAKWAH KEPADANYA.
Nabi Ibrahim memulai dengan Dakwah kepada Tauhid, bertahan kokoh di
medan tersebut, beliu memerangi karib kerabat maupun yang bukan. Beradu
argument dan menegakkan hujjah kepada mereka. Kemudian setelah itu,
ketika tidak bisa diharapkan lagi adanya sambutan dari mereka (terhadap
dakwah tauhid yang beliau tegakkan), maka beliau mendatangi
berhala-berhala mereka lalu beliau hancurkan. Maka mereka pun murka dan
marah demi membela berhala-berhal mereka. tidak ada yang bisa mengobati
kemarahan mereka, kecuali dengan cara melemparkan Ibrahim ke dalam api.
Namun Allah selamatkan Nabi Ibrahim, yaitu api menjadi dingin dan
keselamatan bagi Ibrahim. Sebaliknya, Allah jadikan mereka rendah dan
terhina.
Demikian pula Nabi Nuh sebelumnya. Beliau berdakwah kepada Tauhidullah selama seribu tahun kurang lima puluh.
Ketika kamu datang ke sebuah negeri yang
terdapat berbagai khurafat, bid’ah, dan syirik, serta
kesesatan-kesesatan; apakah kita akan mengatakan kepada mereka : KEMARILAH, KITA MENEGAKKAH DAULAH. Ataukah kita akan katakan, KITA MEMULAI DENGAN PEMBENAHAN AQIDAH MEREKA, BAIK PIMPINAN MAUPUN RAKYATNYA?
Adapun jalan yang digariskan oleh Allah adalah DIMULAI DENGAN PEMBENAHAN AQIDAH SANG PIMPINAN. Yaitu dengan engkau sampaikan kepadanya bahwa :
Allah adalah Rabbnya
hendaklah dia beribadah kepada Allah
memurnikan segala amal hanya untuk-Nya
Apabila dia telah baik, dan memperbaiki
kondisi rakyatnya lalu rakyatnya mau menyambut, maka mereka akan masuk
ke dalam Islam secara menyeluruh. Dan mereka akan benar-benar siap untuk
merealisasikan Hakimiyyatullah (Allah satu-satu yang berhak menetapkan
hukum).
Namun apabila mereka menolak dakwah tersebut, mereka juga akan menolak Hakimiyyah, dan mereka tidak akan mau menerima dakwahmu.
Maka, merupakan sikap dungu dan
merendahkan para nabi dan manhaj mereka, adalah engkau menginginkan
Hakimiyyah dengan cara menempuh hal-hal tersebut, sebagaimana yang
banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok dakwah, yaitu ada yang melakukan
cara-cara Shufiyyah, atau ada pula yang melakukan cara-cara politik,
serta meninggalkan Dakwah Para Nabi – ‘alaihim ash-shalatu wa as-Salam – .
Hasilnya : Kehancuran dan kerugian di
dunia dan akhirat. Karena dakwah tersebut tidak tegak di atas manhaj
para nabi. Namun tegak di atas prinsip-prinsip yang rusak, dan tegak di
atas hawa nafsu. Karena mereka kalau bukan karena kepentingan hawa nafsu
dan ambisi pribadi niscaya mereka tidak akan berani melangkahi dakwah
para nabi yang semestinya mereka laksanakan dan terapkan.
(Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Rabi’ I/26-28)
SILSILAH AL-FAWA’ID AS-SALAFIYAH [28]
HUKUM PENAMAAN “AS-SALAFY” atau “AL-ATSARI”
asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
Pertanyaan : “Bagaimana pendapat Anda
dengan orang menamakan diri “as-Salafy” atau “al-Atsary”, apakah ini
termasuk tazkiyyah (merekomendasi diri)? “
Jawab :
“Jika dia benar/jujur bahwa dia memang “atsary” (seorang yang senantiasa
mengikuti atsar/jejak salaf), atau “salafy” (seorang yang konsisten di
atas Manhaj Salaf), maka ini TIDAK MENGAPA.
Sebagaimana dulu dikatakan oleh para ulama Salaf : “Fulan Salafy”, atau “Fulan Atsary”
Ini merupakan tazkiyyah (rekomendasi) yang HARUS diberikan (apabila kenyataannya memang demikian, pen)
Ini adalah Tazkiyyah yang WAJIB.”
dari Muhadharah berjudul “Haq al-Muslim” pada 16/1/1413 H, di Thaif.
…………………
سئل الشيخ/ عبدالعزيز بن باز رحمه الله عن حكم التسمي بالسلفي أو الأثري
السؤال : ما تقول فيمن تسمى بالسلفي والأثري ، هل هي تزكية . ؟؟؟
فأجاب
رحمه الله : إذا كان صادقا أنه أثري أو أنه سلفي لا بأس ، مثل ما كان
السلف يقول ، فلان سلفي ، فلان أثري ، تزكية لا بد منها ، تزكية واجبه .
من محاضرة بعنوان: “حق المسلم”، في 16/1/1413 بالطائف.)